YAKOBUS
Yakobus
anak Zebedeus dan Salome merupakan kakak rasul Yohanes. Ia adalah rasul pertama
yang menjadi martir dari antara 12 rasul (Kisah Para Rasul 12:2). Ia dihukum
mati sekitar tahun 44 M oleh perintah Raja Herodes Agrippa I dari Yudea.
Kemartirannya menjadi penggenapan dari hal yang diramalkan Yesus tentang ia dan
saudaranya Yohanes (Markus 10:39).
Penulis
terkenal, Clemens Alexandrinus, menulis bahwa ketika Yakobus dibawa menuju
tempat eksekusinya, keberaniannya yang luar biasa menimbulkan kesan yang
mendalam pada satu orang yang menangkapnya sehingga ia jatuh bertelut di depan
rasul itu, meminta ampun kepadanya, dan mengaku bahwa ia adalah orang Kristen
juga. Ia berkata bahwa Yakobus jangan mati sendiri akibatnya mereka berdua
dipenggal kepalanya.
Pada
saat itu, Timon dan Parmenas, dua dari tujuh diaken, dihukum mati - yang satu
di Filipi, yang lain di Makedonia.
PHILIPUS
Ia
lahir di Bethsaida, daerah Galilea. Tepat 10 tahun setelah kematian Yakobus,
pada tahun 54 M Rasul Filipus dikatakan telah dihukum cambuk dan dilemparkan ke
dalam penjara serta kemudian disalibkan di Hierapolis di Phrygia.
MATIUS
Hanya
sedikit yang diketahui tentang akhir hidup Rasul Matius, kapan dan bagaimana
cara kematiannya, tetapi menurut legenda ia pergi ke Ethiopia dan bertemu
dengan Kandake (lihat Kisah Para Rasul 8:27). Beberapa tulisan mengatakan bahwa
ia direbahkan di tanah dan dipancung kepalanya dengan halberd (atau halbert, senjata abad ke 15
atau ke-16 yang memiliki mata pisau seperti kapak dan ujung logam yang runcing
pada ujung batangnya yang panjang) di kota Nadabah (atau Naddayar), Ethiopia,
sekitar tahun 60 M.
YAKOBUS (Kecil)
Yakobus
ini adalah saudara Yesus dan penulis surat Yakobus. Ia tampaknya menjadi
pemimpin gereja di Yerusalem (lihat Kisah Para Rasul 12:27; 15:13-29;
21:18-24). Waktu dan cara kematiannya, yang tepat, tidak diketahui dengan pasti
meskipun dipercaya itu terjadi pada tahun 66 M. Menurut Flavius Josephus, ahli
sejarah Yahudi, imam besar Ananus memerintahkan agar Yakobus dihukum mati
dengan dirajam batu. Namun Hegesippus, penulis Kristen awal, mengutip ahli
sejarah abad ke-3 Eusebius, berkata bahwa Yakobus dilemparkan dari menara Bait
Allah. Versi tentang kematiannya lebih lanjut menyatakan bahwa ia tidak mati
setelah dijatuhkan, jadi kepalanya dipukul dengan pentung yang lebih padat,
yang mungkin adalah pentung yang digunakan untuk memukul pakaian, atau pukul
besi yang digunakan oleh tukang besi.
MATIAS
Dipilih
untuk menggantikan tempat Yudas Iskariot yang kosong, hampir tidak ada sesuatu
yang diketahui tentangnya. Dikatakan bahwa ia dirajam batu di Yerusalem dan
kemudian dipancung.
ANDREAS
Andreas
adalah saudara Petrus (Matius 4:18 ). Tradisi mengatakan bahwa ia memberitakan
Injil kepada banyak bangsa Asia dan menjadi martir di Edessa dengan disalibkan
pada kayu salib berbentuk X, yang kemudian dikenal sebagai Salib Santo Andreas.
MARKUS
Hanya
sedikit hal yang diketahui tentang Markus kecuali hal yang tertulis dalam
Perjanjian Baru tentangnya. Setelah Paulus menyebutnya dalam 2 Timotius 4:11,
ia menghilang dari pandangan. Tradisi mengatakan bahwa ia diseret sampai
tubuhnya terkoyak-koyak oleh orang Alexandria ketika ia berbicara menentang
perayaan yang khidmat untuk berhala Serapis mereka.
PETRUS
Satu-satunya
kisah yang kita miliki tentang kemartiran Rasul Petrus berasal dari penulis
Kristen awal, Hegesippus. Kisahnya mencakup penampakan Kristus yang ajaib.
Ketika Petrus sudah tua (Yohanes 21:18), Nero merencanakan untuk menghukum mati
Petrus. Ketika murid-rnurid mendengarnya, mereka memohon kepada Petrus untuk
melarikan did dad kota itu [yang diyakini Roma] dan ia melakukannya. Namun,
ketika ia sampai di pintu gerbang kota, ia melihat Kristus yang berjalan ke
arahnya. Petrus menjatuhkan diri bertelut dan berkata, "Tuhan, Engkau mau
pergi ke mana?" Kristus menjawab, "Saya datang untuk disalibkan
lagi." Melaluinya, Petrus tahu ini waktu untuk menderita dan mati bagi
Yesus dan memuliakan Allah (Yohanes 21:19). Jadi, ia kembali ke kota. Setelah
ditangkap dan dibawa ke tempat kemartiran. Menurut St. Jerome, ia meminta agar
disalibkan dengan posisi terbalik karena ia memandang dirinya tidak layak untuk
disalibkan dalam posisi yang sama dengan Tuhannya.
PAULUS
Rasul
Paulus dipenjarakan di Roma pada tahun 61 M dan di sana ia menulis surat-surat
dari penjara: surat Efesus, surat Filipi, dan surat Kolose. Pemenjaraannya
berakhir sekitar tiga tahun kemudian pada saat Roma dibakar, yang terjadi pada
bulan Mei tahun 64 M (lihat Kisah Para Rasul 28:30). Selama kebebasannya yang
singkat, Paulus mungkin telah mengunjungi Eropa barat dan timur serta Asia
Kecil- ia juga menulis surat kiriman pertama kepada Timotius dan surat kiriman
kepada Titus.
Semula
Nero disalahkan karena ia membakar kota Roma. Jadi, untuk mengalihkan tuduhan
itu darinya ia menyalahkan orang-orang Kristen. Akibatnya, penganiayaan yang
kejam mulai berkobar terhadap mereka. Pada masa itu, Paulus ditangkap dan
dimasukkan kembali ke dalam penjara Roma. Sementara berada di penjara untuk
kedua kali, ia menulis surat kedua kepada Timotius. Itu adalah surat
terakhirnya.
Tidak
lama sesudahnya, ia diputuskan bersalah karena melakukan kejahatan melawan
Kaisar dan dihukum mati. Ia dibawa ke tiang eksekusi dan dipancung. Hal itu
terjadi pada tahun 66 M, tepat empat tahun sebelum Yerusalem jatuh.
YUDAS
Ia
adalah saudara Yakobus. Ia disalibkan di Edessa, kota kuno Mesopotamia, sekitar
tahun 72 M.
BARTOLOMEUS
Tradisi
mengatakan bahwa ia berkhotbah di beberapa negara, kemudian menerjemahkan Injil
Matius ke dalam bahasa India Timur dan mengajarkannya di negara itu.
Musuh-musuhnya bangsa kafir dengan kejam memukuli dan menyalibkannya.
THOMAS
Tomas
memberitakan Injil ke Persia, Parthia, dan India. Di Calamina, India, ia
disiksa oleh orang kafir yang marah, tubuhnya ditusuk tombak dan dilemparkan ke
dalam nyala api oven.
LUKAS
Lukas
seorang non-Yahudi, mungkin orang Yunani. Tidak diketahui kapan atau bagaimana
ia bertobat. Ia seorang tabib di Troas dan mungkin bertobat di sana melalui
penginjilan Paulus, karena sejak di Troas ia menggabungkan diri dengan kelompok
Paulus dan mulai menempuh perjalanan bersama mereka. Perhatikan dalam Kisah
Para Rasul 16:8-10, di Troas itulah Lukas mengubah ungkapan "mereka"
menjadi "kita" dalam teks - "Setelah melintasi Misia, mereka
sampai di Troas. Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan:
ada seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya:
Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami! Setelah Paulus melihat penglihatan
itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia karena dari
penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk
memberitakan Injil kepada orang-orang di sana."
Lukas
pergi bersama Paulus ke Filipi, tetapi tidak dipenjarakan bersamanya dan tidak
menempuh perjalanan bersama Paulus setelah ia dilepaskan. Ia tampaknya
menjadikan Filipi sebagai rumahnya dan tinggal di sana beberapa lama. Setelah
Paulus berkunjung kembali ke Filipi (Kisah Para Rasul 20:5-6) sekitar tujuh
tahun kemudian, kita sekali lagi berjumpa Lukas. Sejak saat itu ia sekali lagi
menempuh perjalanan bersama Paulus dan tinggal bersamanya selama perjalanannya
ke Yerusalem (Kisah Para Rasul 20:6-21:18 ).
Namun,
ia menghilang sekali lagi selama pemenjaraan Paulus di Yerusalem dan Kaisarea,
serta hanya muncul kembali ketika Paulus mau menuju Roma (Kisah Para Rasul
27:1). Ia kemudian tinggal bersama Paulus selama pemenjaraannya yang pertama
(Filemon 1:24; Kolose 4:14). Banyak ahli Alkitab percaya bahwa Lukas menulis
Injilnya dan Kisah Para Rasul saat tinggal di Roma bersama Paulus pada masa
itu. Se1ama pemenjaraan Paulus yang kedua, Lukas tampaknya tinggal di dekat
atau bersama Paulus karena tepat sebelum kemartirannya, Paulus menulis surat kepada
Timotius dan berkata, "Hanya Lukas yang tinggal dengan aku" (2
Timotius 4:11).
Setelah
kematian Paulus, Lukas tampaknya meneruskan pemberitaan Injil seperti yang
telah ia pelajari bersama Paulus. Kapan dan bagaimana persisnya ia mati tidak
diketahui. Satu diantara sumber kuno menyatakan, "Ia melayani Tuhan tanpa
gangguan karena ia tidak memiliki istri ataupun anak; dan pada saat ia berusia
84 tahun, ia jatuh tertidur di Boeatia (ternpat yang tidak dikenal), penuh
dengan Roh Kudus." Sumber awal lainnya mengatakan bahwa ia pergi ke Yunani
untuk memberitakan Injil dan disana ia menjadi martir dengan digantung pada
pohon zaitun di Atena pada tahun 93 M.
SIMON orang Zelot
Simon
Orang Zelot, menginjil di daerah Mauritania, Africa, dan juga di Britania, dimana
akhirnya dia disalib pada tahun 74 M.
BARNABAS
Rasul
Barnabas, kematiannya diperkirakan tahun 73 melalui proses penganiayaan.
YOHANES
Rasul Yohanes, saudara Yakobus, dipercaya mendirikan tujuh jemaat
di Kitab Wahyu: Smirna, Pergamus, Sardis, Filadelphia, Laodikia, Tiatira, dan
Efesus. Dikatakan ia ditangkap di Efesus dan dibawa ke Roma tempat ia
dilemparkan ke dalam tempat penggorengan yang diisi minyak yang mendidih,
tetapi tidak melukainya. Akibatnya ia dilepaskan dan dibuang oleh Kaisar Domitian
ke Pulau Patmos, tempat ia menulis Kitab Wahyu. Setelah dilepaskan dari Patmos
ia kembali ke Efesus, tempat ia meninggal sekitar tahun 98 M. Ia satu-satunya
rasul yang tidak mengalami kematian yang mengerikan.
Meskipun
ada penganiayaan terus-menerus dan kematian yang mengerikan, Tuhan setiap hari
menambahkan jiwa-jiwa ke dalam gereja. Gereja sekarang berakar kuat dalam
doktrin rasul-rasul serta diairi dengan limpah dengan darah orang-orang kudus.
Gereja dipersiapkan untuk menghadapi penganiayaan yang kejam di masa yang akan
datang.
KISAH MARTIR NEGERI CINA
Siapa tak kenal negeri China? Di negeri ini bambu
bertumbuh dengan suburnya. Tak salah jika China dijuluki negara Tirai Bambu.
Selain itu, hanya di China juga binatang Panda bisa beranak pinak sangat
ba-nyak. China pun dijuluki Negeri Panda. Di bidang ekonomi, China adalah salah
satu macan Asia. Kita tentu sangat familiar dengan produk-produk mereka yang
membanjiri pasar kita. Di bidang pertumbuhan penduduk, China mendapat julukan
negeri semiliar jiwa. Di bidang pengetahuan, China sudah disegani sejak dahulu
kala. Tak heran pepatah Arab mengatakan tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.
Sayangnya, China sempat mencatat masa kelam dalam kekristenan. Dulu di China hampir setiap hari orang-orang Kristen dikejar-kejar, diburu-buru dan kalau tertangkap, mereka pasti dicerca, disiksa, dan didera sampai nyawa pun tak bersisa di raga. Akibatnya, orang-orang Kristen di China selalu bersembunyi untuk beribadah. Gua, celah-celah perbukitan dan kadang-kadang ruang bawah tanah menjadi tempat ibadah yang layak untuk mereka. Langkanya Alkitab membuat Alkitab yang ada harus dirobek-robek dan dibagi lembar demi lembar kepada setiap jemaat yang ada. Minggu depannya baru lembar itu ditukarkan dengan saudara seiman yang lain. Tak heran jika banyak orang Kristen di China yang hanya menghapal ayat sepenggal-sepenggal. Karena memang kenyataannya demikian. Dapat selembar halaman Alkitab saja mereka sudah bersorak kegirangan.
Meskipun fakta dan kebenaran tentang penderitaan orang-orang Kristen di sana sudah berlalu bersama waktu, toh kebenaran tak bisa dibungkam. Suatu saat, ia akan bersuara dengan lantang. Inilah beberapa martir dari ribuan martir yang telah membayar China dengan darah dan nyawa mereka.
Ngen Do Man: Pendeta yang ditusuk 13 kali
26 Januari 1991. Tampaknya inilah saat akhir bagi Ngen Do Man merasakan panasnya matahari yang saban hari menyengat ubun-ubun. Siang itu, ia sedang menikmati perjalanan. Siulan kecil keluar dari bibirnya. Ia sedang gembira. Sebentar lagi, ia bertemu saudara-saudara seiman. Ngen Do memang hendak mengajarkan Injil ke sebuah ibadah rumah yang tersembunyi di balik bukit. Bukan sekali ini ia melakukan perjalanan sejauh itu.
Sebagai seorang pendeta dan penginjil, ia tahu negerinya tidaklah ramah. Ia sadar nyawanya bisa terancam kapan saja. Tapi Ngen Do Man tak mau gemetar dalam gentar. Tiga tahun mengikut Kristus bukanlah waktu yang lama. Tapi ia sudah memenangkan 200 jiwa lebih dan membawa mereka hidup dalam pengenalan akan Kristus. Tak heran, Ngen Do di cari-cari dan dikejar laksana buron kelas kakap. Tapi Tuhan begitu murah hati. Tiga tahun dia gesit melarikan diri. Tak sekalipun ketahuan. Tapi misteri ajal, tak satu pun bisa memecahkan. Dalam perjalanannya kali ini, Ngen Do dikepung oleh beberapa orang komunis. Mereka sepertinya sudah mengintai gerak-gerik Ngen Do dengan saksama.
Di pinggir jalan itu, Ngen Do tiba-tiba terkesima. Belasan orang berwajah sangar berdiri tegap dengan senjata tergenggam erat di tangan. Ngen Do tahu waktunya telah tiba. Ia tak melawan sedikit pun. Ia hanya berdoa dalam hatinya. "Tuhan, terima kasih aku boleh mendapatkan kehormatan mati demi memperjuangkan nama-Mu. Ampunilah mereka. Jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka." Ngen Do memandang mereka satu per satu. Itulah hari terakhir ia bisa memandang sesamanya. Siang itu di bawah teriknya matahari, Ngen Do diserbu dan disiksa dengan kejam. Tanpa ampun, ia ditusuk 13 kali. Ngen Do tewas seketika, tanpa sempat menyampaikan salam perpisahan kepada istri dan anak perempuannya.
Siao-Mei: Si kecil yang ikut dipenjara
China, 1991. Masa kecil harusnya menjadi masa yang menyenangkan. Masa yang indah untuk dikenang. Tapi hal itu tak berlaku bagi si kecil Siao-Mei. Ia baru berusia 5 tahun. Belum tahu banyak tentang risiko menjadi seorang Kristen di negerinya. Yang ia tahu, ibunya selalu mengajarkan lagu-lagu indah tentang kasih Yesus. Ia tak banyak mengerti mengapa mereka harus berhati-hati jika mau bertemu teman-teman Kristennya. Ia juga tak terlalu paham mengapa ia dan ibunya harus membaca sobekan Kitab Suci dengan sembunyi-sembunyi. Ia juga belum terlalu tahu bahayanya menjadi seorang Kristen di negaranya. Siao-Mei kecil memang tak perlu banyak tahu.
Seperti hari itu. Ia tak tahu mengapa ia dan ibunya digelandang ke sebuah ruang berjeruji besi. Di sana mereka dikurung tak diberi makan. Siao-Mei kecil bertanya pada ibunya. Ibunya diam seribu bahasa. Hanya mengelus-elus punggungnya. Siao-Mei tidak mengerti bahwa Ibunya ditangkap karena menolak menyangkal iman. Yang ia tahu, perutnya sangat lapar. Siao-Mei tidak tahan. Ia menangis sesenggukan.
Kepala penjara yang melihat hal itu mencibir ibu Siao-Mei. "Tidakkah engkau kasihan kepada anakmu? Apa susahnya mengatakan kamu bukan orang Kristen lagi? Kalau kau melakukan hal itu, kau dan anakmu ini akan bebas." Putus asa, ibu Siao-Mei pun setuju menyangkal iman sebagai Kristen agar ia dan anaknya dilepaskan. Syaratnya Ibu Siao-Mei harus berteriak di panggung di hadapan 10.000 orang, "Saya tidak lagi menjadi orang Kristen." Tak berpikir panjang, Ibu Siao-Mei pun melakukannya. Mereka akhirnya diizinkan pulang.
Sesampainya di rumah, Siao-Mei berkata, "Ma, hari ini Yesus tidak senang dengan perbuatanmu." Ibu Siao-Mei berusaha menjelaskan. "Mama melihat kamu menangis di penjara. Mama terpaksa melakukan itu karena Mama sayang padamu. Mama tidak mau melihat kamu menangis, Siao-Mei." Mendengar itu Siao-Mei kecil mendongak kepada ibunya. "Mama, saya berjanji jika kita kembali ke penjara karena Yesus, saya tidak akan menangis lagi." Mendengar hal itu Ibu Siao-Mei kembali bersemangat menginjil. Tak lama kemudian, mereka pun kembali ditangkap dan dipenjara. Namun, kali ini Siao-Mei tidak mau menangis. Ia ingat janjinya kepada ibunya. Entah sampai kapan mereka dipenjara. Tapi tangisan Siao-Mei tak lagi terdengar di sana.
Lai Manping: tewas tak tahan siksaan
Tahun 1994, sebuah gereja rumah di Taoyuan, provinsi Saanxi diserang ketika sedang menjalankan ibadah. Dua orang perempuan muda Kristen tak berhasil melarikan diri. Salah seorang dikenal bernama Lai Manping. Ia baru berusia 20 tahun. Mereka pun dipukul dengan kejam. Mereka ditaruh di atas kompor, dan batu gerinda yang seberat 59kg diletakkan di atas punggung mereka. Lalu mereka dipukuli dengan tongkat. Pakaian mereka dilepas. Dan (maaf) pantat mereka dilecut dengan cambuk yang ujungnya berkait. Segumpal daging terlepas dari pantat mereka. Darah segar langsung mengucur deras.
Tak tahan disiksa dan dipukuli, Manping akhirnya tewas mengenaskan. Kantong kolekte yang berdarah dibuang begitu saja diatas mayatnya. Sementara teman perempuannya yang lain dibawa langsung ke penjara. Setelah para penyik-sanya pergi, diam-diam seorang Kristen yang lain mengambil mayat Manping dan segera menguburkannya tanpa ada upacara apa pun.
Membayar dengan nyawa
Ngen Do Man, Siao-Mei dan Lai Manping hanyalah segelintir orang Kristen yang mengalami penderitaan. Selain mereka, masih ada ratusan bahkan ribuan martir yang juga dibunuh dengan keji di China hanya karena enggan mengingkari iman. Tapi seperti pepatah katakan, semakin dihambat, iman sejatinya semakin bertumbuh pesat. Darah martir itu membawa kebangunan rohani yang spektakuler. Kini, China dikenal sebagai salah satu tempat dimana kekristenan bertumbuh dengan pesat. Sebuah harga yang setimpal dengandarah ribuan martir yang tertumpah untuk membasuh negeri China.
Sayangnya, China sempat mencatat masa kelam dalam kekristenan. Dulu di China hampir setiap hari orang-orang Kristen dikejar-kejar, diburu-buru dan kalau tertangkap, mereka pasti dicerca, disiksa, dan didera sampai nyawa pun tak bersisa di raga. Akibatnya, orang-orang Kristen di China selalu bersembunyi untuk beribadah. Gua, celah-celah perbukitan dan kadang-kadang ruang bawah tanah menjadi tempat ibadah yang layak untuk mereka. Langkanya Alkitab membuat Alkitab yang ada harus dirobek-robek dan dibagi lembar demi lembar kepada setiap jemaat yang ada. Minggu depannya baru lembar itu ditukarkan dengan saudara seiman yang lain. Tak heran jika banyak orang Kristen di China yang hanya menghapal ayat sepenggal-sepenggal. Karena memang kenyataannya demikian. Dapat selembar halaman Alkitab saja mereka sudah bersorak kegirangan.
Meskipun fakta dan kebenaran tentang penderitaan orang-orang Kristen di sana sudah berlalu bersama waktu, toh kebenaran tak bisa dibungkam. Suatu saat, ia akan bersuara dengan lantang. Inilah beberapa martir dari ribuan martir yang telah membayar China dengan darah dan nyawa mereka.
Ngen Do Man: Pendeta yang ditusuk 13 kali
26 Januari 1991. Tampaknya inilah saat akhir bagi Ngen Do Man merasakan panasnya matahari yang saban hari menyengat ubun-ubun. Siang itu, ia sedang menikmati perjalanan. Siulan kecil keluar dari bibirnya. Ia sedang gembira. Sebentar lagi, ia bertemu saudara-saudara seiman. Ngen Do memang hendak mengajarkan Injil ke sebuah ibadah rumah yang tersembunyi di balik bukit. Bukan sekali ini ia melakukan perjalanan sejauh itu.
Sebagai seorang pendeta dan penginjil, ia tahu negerinya tidaklah ramah. Ia sadar nyawanya bisa terancam kapan saja. Tapi Ngen Do Man tak mau gemetar dalam gentar. Tiga tahun mengikut Kristus bukanlah waktu yang lama. Tapi ia sudah memenangkan 200 jiwa lebih dan membawa mereka hidup dalam pengenalan akan Kristus. Tak heran, Ngen Do di cari-cari dan dikejar laksana buron kelas kakap. Tapi Tuhan begitu murah hati. Tiga tahun dia gesit melarikan diri. Tak sekalipun ketahuan. Tapi misteri ajal, tak satu pun bisa memecahkan. Dalam perjalanannya kali ini, Ngen Do dikepung oleh beberapa orang komunis. Mereka sepertinya sudah mengintai gerak-gerik Ngen Do dengan saksama.
Di pinggir jalan itu, Ngen Do tiba-tiba terkesima. Belasan orang berwajah sangar berdiri tegap dengan senjata tergenggam erat di tangan. Ngen Do tahu waktunya telah tiba. Ia tak melawan sedikit pun. Ia hanya berdoa dalam hatinya. "Tuhan, terima kasih aku boleh mendapatkan kehormatan mati demi memperjuangkan nama-Mu. Ampunilah mereka. Jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka." Ngen Do memandang mereka satu per satu. Itulah hari terakhir ia bisa memandang sesamanya. Siang itu di bawah teriknya matahari, Ngen Do diserbu dan disiksa dengan kejam. Tanpa ampun, ia ditusuk 13 kali. Ngen Do tewas seketika, tanpa sempat menyampaikan salam perpisahan kepada istri dan anak perempuannya.
Siao-Mei: Si kecil yang ikut dipenjara
China, 1991. Masa kecil harusnya menjadi masa yang menyenangkan. Masa yang indah untuk dikenang. Tapi hal itu tak berlaku bagi si kecil Siao-Mei. Ia baru berusia 5 tahun. Belum tahu banyak tentang risiko menjadi seorang Kristen di negerinya. Yang ia tahu, ibunya selalu mengajarkan lagu-lagu indah tentang kasih Yesus. Ia tak banyak mengerti mengapa mereka harus berhati-hati jika mau bertemu teman-teman Kristennya. Ia juga tak terlalu paham mengapa ia dan ibunya harus membaca sobekan Kitab Suci dengan sembunyi-sembunyi. Ia juga belum terlalu tahu bahayanya menjadi seorang Kristen di negaranya. Siao-Mei kecil memang tak perlu banyak tahu.
Seperti hari itu. Ia tak tahu mengapa ia dan ibunya digelandang ke sebuah ruang berjeruji besi. Di sana mereka dikurung tak diberi makan. Siao-Mei kecil bertanya pada ibunya. Ibunya diam seribu bahasa. Hanya mengelus-elus punggungnya. Siao-Mei tidak mengerti bahwa Ibunya ditangkap karena menolak menyangkal iman. Yang ia tahu, perutnya sangat lapar. Siao-Mei tidak tahan. Ia menangis sesenggukan.
Kepala penjara yang melihat hal itu mencibir ibu Siao-Mei. "Tidakkah engkau kasihan kepada anakmu? Apa susahnya mengatakan kamu bukan orang Kristen lagi? Kalau kau melakukan hal itu, kau dan anakmu ini akan bebas." Putus asa, ibu Siao-Mei pun setuju menyangkal iman sebagai Kristen agar ia dan anaknya dilepaskan. Syaratnya Ibu Siao-Mei harus berteriak di panggung di hadapan 10.000 orang, "Saya tidak lagi menjadi orang Kristen." Tak berpikir panjang, Ibu Siao-Mei pun melakukannya. Mereka akhirnya diizinkan pulang.
Sesampainya di rumah, Siao-Mei berkata, "Ma, hari ini Yesus tidak senang dengan perbuatanmu." Ibu Siao-Mei berusaha menjelaskan. "Mama melihat kamu menangis di penjara. Mama terpaksa melakukan itu karena Mama sayang padamu. Mama tidak mau melihat kamu menangis, Siao-Mei." Mendengar itu Siao-Mei kecil mendongak kepada ibunya. "Mama, saya berjanji jika kita kembali ke penjara karena Yesus, saya tidak akan menangis lagi." Mendengar hal itu Ibu Siao-Mei kembali bersemangat menginjil. Tak lama kemudian, mereka pun kembali ditangkap dan dipenjara. Namun, kali ini Siao-Mei tidak mau menangis. Ia ingat janjinya kepada ibunya. Entah sampai kapan mereka dipenjara. Tapi tangisan Siao-Mei tak lagi terdengar di sana.
Lai Manping: tewas tak tahan siksaan
Tahun 1994, sebuah gereja rumah di Taoyuan, provinsi Saanxi diserang ketika sedang menjalankan ibadah. Dua orang perempuan muda Kristen tak berhasil melarikan diri. Salah seorang dikenal bernama Lai Manping. Ia baru berusia 20 tahun. Mereka pun dipukul dengan kejam. Mereka ditaruh di atas kompor, dan batu gerinda yang seberat 59kg diletakkan di atas punggung mereka. Lalu mereka dipukuli dengan tongkat. Pakaian mereka dilepas. Dan (maaf) pantat mereka dilecut dengan cambuk yang ujungnya berkait. Segumpal daging terlepas dari pantat mereka. Darah segar langsung mengucur deras.
Tak tahan disiksa dan dipukuli, Manping akhirnya tewas mengenaskan. Kantong kolekte yang berdarah dibuang begitu saja diatas mayatnya. Sementara teman perempuannya yang lain dibawa langsung ke penjara. Setelah para penyik-sanya pergi, diam-diam seorang Kristen yang lain mengambil mayat Manping dan segera menguburkannya tanpa ada upacara apa pun.
Membayar dengan nyawa
Ngen Do Man, Siao-Mei dan Lai Manping hanyalah segelintir orang Kristen yang mengalami penderitaan. Selain mereka, masih ada ratusan bahkan ribuan martir yang juga dibunuh dengan keji di China hanya karena enggan mengingkari iman. Tapi seperti pepatah katakan, semakin dihambat, iman sejatinya semakin bertumbuh pesat. Darah martir itu membawa kebangunan rohani yang spektakuler. Kini, China dikenal sebagai salah satu tempat dimana kekristenan bertumbuh dengan pesat. Sebuah harga yang setimpal dengandarah ribuan martir yang tertumpah untuk membasuh negeri China.